del.icio.us

Biar nggak Kepanjangan Blog-nya

Kamis, 01 November 2007

Black Mass: Apocalyptic Religion and The Death of Utopia

Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D) mengundang hadir dalam diskusi buku John Gray berjudul Black Mass: Apocalyptic Religion and The Death of Utopia (London: Penguin, 2007). Pembahas Rocky Gerung (Dept. Filsafat UI) dan M. Guntur Romli (Komunitas Utan Kayu).

Adapun waktu dan tempat,

Hari/Tanggal: Rabu 7 November 2007
Waktu: Pukul 14.00 - Selesai
Tempat: P2D, Jl. Sawo No.11, Jakarta Pusat 10310.


Review pengantar Rocky Gerung:

Politik Pasca-Isme?

Modern politics is a chapter in the history of religion. …. The world in which we find ourselves at the start of the new millennium is littered with the debris of utopian projects, which though they were framed in secular terms that denied the truth of religion were in fact vehicles for religious myths. (hal.1) Begitu kalimat awal buku ini. Dan dengan nada yang sama buku ini diakhiri begini: The modern age has been a time of superstition no less than the medieval era, in some ways more so. …. Wars as ferocious as those of early modern times are being fought against a background of increased knowledge and power. Interacting with the struggle for natural resources, the violence of faith looks set to shape the coming century. (hal. 210)

Di sepanjang 210 halaman itulah Gray memprovokasi sejarah humanisme dengan skeptisisme radikalnya: manusia adalah, sejauh-jauhnya ia berupaya berakal, tetaplah seekor Leviathan. Pemerintah, di dalam skeptisisme itu, tidak lebih dari sekedar kandang bagi sang binatang. Kelemahan argumentasi Hobbes, dalam pandangan Gray, adalah bahwa ia terlalu sederhana dan berlebih-lebihan dalam memberi kedudukan istimewa pada rasio. Seolah-olah karena rasiolah maka manusia menjadi begitu takut pada kematian, dan karena itu mau berkontrak untuk perdamaian. "It is not always because human beings act irrationally that they fail to achieve peace. Sometimes it is because they do not want peace. They may want the victory of the One Truth Faith –whether a traditional religion or secular successor such as communism, democracy or universal human rights" (hal. 186)

Di sini kita sedang berhadapan dengan seorang empirisis, yang memandang sejarah sebagai usaha sia-sia manusia dalam mengejar utopia. Dan Utopia itu merentang dalam semua ideologi: agama, nazisme, komunisme, kolonialisme, revolusi, demokrasi universal, pasar bebas, iptek. Inilah mimpi apokaliptik yang terus menggoda politik dari abad klasik sampai era pasca 9/11. Dasarnya adalah satu: The sense of universal mission.

Adalah keyakinan Enlightenment pada "progres" yang mendasari humanisme sekuler, bahwa kemajuan rasio adalah motor dari kemajuan peradaban. Dan sejak itu, progres selalu berarti gerak menuju pada suatu "harmoni" kemanusiaan. Kalaupun rencana kemajuan itu merupakan rencana Tuhan, manusia tetap mampu mewujudkannya dengan rasionya. Proposisi apokaliptik inilah yang tampak palsu bagi Gray. Ia melawannya dengan memperlihatkan jejak kekacauan, kehancuran dan kedunguan semua proyek apokaliptik: dari mimpi Westphalia sampai proyek Bush di Irak. Bagi Gray, modernitas tidak mengarah pada uniformitas global. Kepentingan demokrasi Swiss dan teokrasi Iran, misalnya, dua-duanya adalah ekspresi kepentingan akhir yang berbeda, kendati pada arah modernitas yang sama. Karena itu, potensi konflik tetap membayangi politik dunia: "over the long run war is as common as peace" (hal. 195). Di sini, Gray sungguh-sungguh menjadi seorang realis: "Basing policies on an assumption that a mysterious process of evolution is taking mankind to a promised land leads to a state of mind that is unprepared for intractable conflict (hal. 195)

Dalam konteks proyek demokrasi kita di sini, sinisme Gray tidak perlu terlalu mengganggu kita, karena satu alasan: pertaruhan gagasan demokrasi itu sendiri di Indonesia masih dibayang-bayangi oleh antropologi keyakinan yang amat primitif. Yaitu praktek kekerasan dalam menghalang-halangi kemajemukan nilai. Ini tentu bukan surplus argumen untuk membenarkan esensialisme Gray. Justeru sebaliknya, untuk menghambat realisme Gray meluncur menjadi ortodoksi utilitarianistik: Might is Right!

Problem teoretis dari pendekatan Gray adalah bahwa ia memutlakkan semacam "Darwinian Left" pada politik Abad 21 yang justeru bekerja dalam semangat "Bayesian Epistemology" . Kendati, politik anti-finalitas merupakan kutukan metodis bagi kaum liberal, tetapi menikmati kemerdekaan dalam satu momen sekalipun, sudah merupakan rahmat yang mahal. Gray menyumbang pada antiutopianisme, hal yang berguna untuk mengingatkan bahaya mayoritarianisme. Tetapi ia tidak memahami bahaya sebaliknya: defisit politik minoritas dalam situasi lumpuhnya kritik rasional. Realisme politik minoritas, masih memerlukan utopianisme Bayesian, yaitu ruang manuver minimal untuk memelihara keyakinan bahwa subyektivitas dapat juga menghasilkan "peristiwa" yang menjanjikan. (Rocky Gerung).

Selasa, 30 Oktober 2007

Potongan Ave Satani

Entitas paling terang meregangkan ototnya sampai pada titik maksimum. Ia menerawangi bumi bagai tiada lelah. Manusia hanya bisa mengeluh, paling kesah mereka berpeluh. Titik terpanas di sebuah hari adalah titik yang diminta banyak orang untuk dilewati dengan cepat. Tetapi, matahari tidak bisa dikompromikan. Ia terlalu senang dengan rutinitas detik per detik dan membiarkan setengah isi bumi merasakannya setiap saat. Ia terlalu senang untuk menusuk panasnya ke rusuk siapa saja yang berkonfrontasi dengannya.

Jikalau telah datang waktu yang dinanti, ku pasti bahagiakan dirimu seorang. Tetapi pancar rutin matahari tidak mengalihkan perhatian orang-orang ini. Orang-orang itu: reserse, bocah tujuh belas tahun, dan sebuah tim buru sergap berjumlah tujuh orang. Hari ini adalah saatnya, saatnya mereka menghardik seorang penjahat dan menghentikan kiprahnya. Ini saatnya menghujamkan popor, menginjakkan sepatu lars, meludahi, dan menghantamkan kepala penjahat itu atas apa yang ia perbuat. Matahari boleh merasa angkuh, tapi bukan teriknya yang bakal beraksi.

Ku harap dikau sabar menunggu, ku pasti datang untukmu. Jangan tertipu dengan ekspresi orang-orang ini. Di mobil bak terbuka ini memang mereka hanya menggantungkan wajah yang minim antusiasme. Sang reserse malah pura-pura tidur, dan dalam hatinya menggerutu kenapa mereka mesti menggunakan mobil bak terbuka ini dan dibiarkan terbakar. Partner tidak resminya, bocah tujuh belas tahun bernama Udin pun hanya memandang kosong tempat-tempat yang dilewati kendaraan ini. Ekspresi bukan soal di sini. Dansa besar-besaran akan terjadi sejenak setelah kaki pertama dijejakkan di tempat tujuan. Dansa itu tidak memerlukan wajah yang gempita.

Ku harap dikau sabar ‘tuk menungguku. Mobil berhenti. Aksi akan segera bergerak. Pemimpin tim memberi instruksi singkat. Hanya sepatah dua kata, mereka sudah diarahkan sebelum ini. Udin memukul pelan pundak sang reserse, membangunkannya dari lelap bohong-bohongannya. Reserse terbangun. Ia memperbaiki posisi headphones yang menempel di telinganya agar lebih nyaman. Ia melangkahkan kakinya dan berjalan mengikuti tim buru sergap yang bergerak cepat ke target operasi seperti tradisi. Tradisi di mana reserse selalu menguntit tim buru sergap. Berlaku di mana saja. Bahkan di rumah bordil pun reserse harus mengantri di belakang mereka.

Berilah daku waktu ‘tuk wujudkan semua, janji ini untukmu ku takkan lupa. Pemimpin tim buru sergap berhenti di depan pintu. Setelah beberapa langkah dan beberapa tatapan berbagai ekspresi dari orang-orang di perumahan susun ini, mereka akhirnya sampai. Ia lalu dengan isyarat tangan meminta timnya untuk sigap di belakangnya. Ia mendengarkan baik-baik, untuk sementara tidak ada suara apa-apa. Ia mendengarkan lagi. Ia mendengar sedengus nafas, penjahat itu ada di dalam. Ia lalu memberi isyarat lagi, saatnya mendobrak.

Untaian kata-kata yang kuucapkan untukmu. Satu tendangan amat keras cukup untuk merusak pintu dan membukanya dengan paksa. Terdapatlah di situ, sang penjahat yang sedang menindih seorang perempuan belasan tahun. Perempuan itu masih hidup, tapi terlihat tidak ada nyawa. Wajahnya tanpa air. Penjahat itu, bapak-bapak botak dengan perut besar dan tetek menjuntai, membalikkan tubuhnya dan memperlihatkan sebilah pisau yang ia tempelkan di leher perempuan itu. Penjahat itu mengancam keras-keras, tanpa lupa menyelipkan sumpah serapah di dalamnya. Tim buru sergap membalas juga dengan kata-kata yang kurang lebih sama. Pemanasan untuk dansa ini adalah hujan caci maki.

Tak seindah kata cinta ... klik! Sang reserse mematikan pemutar mp3 ramah jinjing murahannya. Hujan caci maki dan ancaman yang tadi seperti sunyi baginya kini balas menjadi dengung di telinganya. Sang reserse menggantungkan headphones yang kabelnya terulur menempel ke pemutar mp3 di lehernya. Ia berjalan pelan mendekati kerumunan di depannya. Sepasukan tim buru sergap yang empat orang berada di dalam rumah susun, tiga sisanya menahan orang-orang di perumahan susun ini yang seperti mendapat tontonan dan ingin sekali mereka melihat langsung apa yang terjadi.

Sang reserse sudah berada di belakang empat orang yang menutupi jalan pintu rumah susun si penjahat. Sepintas ia melihat wajah si penjahat. Herman Afrizal nama lelaki gendut botak itu, dan Reserse Imam Mahardika akhirnya bisa melihat langsung cecunguk yang ia kejar selama berbulan-bulan itu. Bulan-bulan yang mencekam kota ini. Di saat itu, setiap orang selalu merasa berdosa kalau terlelap mengawasi anak perempuan mereka meski hanya sedetik. Imam akan berhenti membuat mereka khawatir hari ini dan untuk selamanya.

Dar! Bunyi ledakan cukup mengagetkan orang di bangunan ini. Hujan makian pun berhenti begitu saja. Lawan memaki memang sudah terkapar di depan para polisi. Tentu dengan kondisi kepala pecah dan darah jadi permadani baru rumah ini. Seluruh orang di bangunan ini dibawa kaget oleh letusan yang keluar dari pistol Imam. Semua kecuali Imam sendiri dan perempuan yang ditindih Herman tadi. Perempuan itu tidak mengubah apa yang terlukis di wajahnya. Tidak bahkan ekspresi dirinya yang harusnya menampakkan kelegaan karena monster yang memakannya hidup-hidup telah mengenaskan.

“Reserse ... “ kepala tim buru sergap tidak tahu harus berkata apa. Terlebih ia tidak tahu harus berbicara apa kepada komandannya nanti. Ini tidak masuk dalam agenda, Herman Afrizal diperintahkan untuk dibawa hidup-hidup.